Ketika Cinta Menguji Yusuf

Yusuf, sebagaimana dikisahkan secara utuh dalam satu surat al-Qur’an: surat Yusuf, ia menjalani kehidupannya secara berliku. Jika anda pernah membaca kisah-kisah novel terbaik di dunia, maka kisah Yusuf menempati posisi tertinggi dalam segalanya. Kisahnya mirip novel karena dirangkai dengan bahasa sastrawi (balaghah) yang tinggi, ia memuat berbagai kaidah sastra novel standard: seperti kisahnya diawali dengan cerita pembukaan yang membuat penasaran seperti mimpi matahari, bulan dan sebelas bintang bersujud padanya dan diakhiri dengan jawaban atas penasaran itu dengan peristiwa memukau yang dapat meluruhkan air mata. Atau simbol–simbol tertentu yang menjadi jawaban atas tanda yang lainnya, seperti kain bajunya yang didustakan oleh saudara-saudara Yusuf dengan lumuran darah serigala, ternyata kain bajunya yang sobek pula yang menjadi bukti kebenaran bahwa Yusuf tidak bersalah ketika isteri al-Aziz menggodanya. Selain nilai sastrawi, juga karena sebaik-baik kisah ini dikisahkan oleh Sang Maha Terbaik. Wa qashashnahu ahsanul qashash.

Di setiap kisah novel selalu ada gelombang alur cerita yang terkadang membuat pembacanya terbawa emosi, sedih, marah, gembira, tertegun, bahkan ikut tegang dan hanyut dalam kisah itu. Begitu juga kisah Yusuf, ia penuh gelombang liku kehidupan yang sinematis dan bahkan menegangkan. Dalam kisahnya, ada lima posisi Yusuf dalam gelombang kehidupan itu tiga posisinya di atas dan dua posisi lainnya yang menunjukkan keterpurukan yang menyedihkan.

Posisinya yang menggembirakan yakni ketika ia dalam naungan kasih sayang dan cinta ayahnya. Mungkin kita menganggap itu adalah posisi aman, tapi justru dari sanalah ujian tiba yang menyebabkan Yusuf dilemparkan ke sumur akibat iri dengki saudara-saudaranya. Kita juga mungkin menyangka di kejatuhannya itu adalah sebuah kenistaan, tapi justru dari sanalah ia diangkat dan dibawa ke istana lalu dipelihara dan dibesarkan oleh keluarga al-Aziz.

Mungkin juga kita terjebak bahwa di posisi nyaman itu kisah hidup selesai, dan betapa bahagianya Yusuf yang dilempar ke sumur ternyata bisa hidup mewah di istana secara gratis. Kenyataan berbicara lain, ujian menimpa kembali ketika ia semakin beranjak dewasa dan cinta Zulaikha menggodanya yang menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah hingga ke level syaghaf (cinta yang menggila) yang kemudian ia pun dijebloskan ke penjara.

Mungkin sebagian kita pun beranggapan Yusuf dalam posisi yang sangat buruk. Tapi justru dari penjaralah segalanya bermula: perubahan pun terjadi ia semakin dikenal sebagai seorang da’i dan pentakwil mimpi yang selalu tepat dengan kenyataan yang kemudian kabar tentangnya memikat hati raja untuk mengundangnya dialog dan akhirnya segera menjadikannya menteri kesejahteraan rakyat Mesir ketika itu. Dan makmurlah Mesir setelah melewati tujuh tahun masa-masa berat perekonomian dan sumber daya alam negeri itu.

Liku kehidupan dengan keragaman uji coba ini: dari ujian keluarga, ujian cinta, hingga ujian bangsa dan negaranya tidak membuat Yusuf jatuh terpuruk, malah semakin mengangkat derajatnya. Kisah Yusuf itu, sebagaimana ditafsirkan oleh Ulama Muda Ikhwanul Muslimin, Amru Khalid, dalam buku Pesona al-Qur’an, dipaparkan dalam satu surat secara utuh dan berangkai sistematis dengan menampilkan seluruh sisi kemanusiawiannya. Bahkan di surat 12 itu sosok Yusuf tidak ditampilkan sebagai seorang nabi, ia disebut nabi di surat al-Qur’an lainnya. Dalam kisah ini tidak sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan-persoalan manusia juga dapat dipecahkan secara rasional tanpa harus menunggu kehebatan turun dari langit. Dan satu hal yang konsisten dari pribadi Yusuf ini adalah akhlaknya yang tidak berubah. Ia bergerak mantap dengan akhlaknya yang mulia sekalipun diuji secara ekstrim baik oleh kebaikan maupun keburukan.

No comments:

Post a Comment